Start From Ordinary Things…

Just what I think..feel and writing about

Menyikapi Masalah Homoseksualitas August 27, 2007

Filed under: karya ilmiah — itha @ 9:36 am

             Menulis tentang homoseksualitas yang dapat memuaskan semua pihak, memang sulit dan benar-benar menuntut kearifan serta kehati-hatian. Maksudnya jangan sampai tulisan yang ada memberi kesan sebagai pembela kebejatan. Sedang bagi yang lain, tidak terasa arogan dan semena-mena. Kalau boleh jujur sebenarnya yang lebih aman adalah tidak membicarakannya. Namun sikap ini, menurut saya tidak bertanggung jawab. Sikap yang hanya mencari aman. Tidak mencerminkan baik integritasi moral maupun kejujuran intelektual. Dalam tulisannya yang berjudul “Memberi Suara Pada Yang Bisu”, Dede Oetomo mengatakan bahwasannya salah satu ciri masyrakat modern adalah obsesinya dengan memberi label atau menggolong-golongkan segala sesuatu dan seringkali pelabelan tersebut dilaksanakan tidak secara induktif atau berdasarkan kenyataan yang ada melainkan berdasarkan ideologi yang dianggap sah dan telah mendominasi suatu masyarakat. Hal ini yang nantinya akan ber’imbas’ pada proses pelabelan kaum homoseksual sebagai prilaku yang dianggap menyimpang dan terkadang sering dikonsepsikan sebagai gangguan kejiwaan.

            Pelabelan atas kaum homoseksual merupakan salah satu bagian dari studi mengenai seksualitas dan gender. Di dalam cultural studies seks dan gender diyakini sebagai konstruksi sosial yang secara intrinsik terkandung dalam soal-soal representasi. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dede Oetomo dimana ia mengatakan dalam pandangan sosio-konstruksionis gender dan seksualitas merupakan konstruksi yang tidak selalu stabil atau ‘terberi’ melainkan dibentuk dan dirajut oleh masyarakat dalam konteks ruang dan waktu yang beraneka ragam.

            Dalam mempelajari masalah-masalah mengenai seksualitas dan gender. Kita pada akhirnya akan sering bersinggungan dengan dua paham besar dalam studi ini. Yakni paham essensialis dan konstruksionis, dimana kedua pemahaman ini membawa warna sendiri dalam proses penyikapan kaum homoseksual.

Pemahaman kaum essensialis lebih mengacu pada tingkat individu dan cenderung ke arah biologis, kaum ini berprinsip bahwasannya seksualitas yang ada dalam diri seseorang adalah takdir atau dorongan biologis yang alamiah dan seksualitas dikonsepsikan secara naluriah yang menguasai dan menggerakan seorang individu, semua sexual acts, sexual identities dan sexual direction selalu dianggap searah.

Sementara kaum konstruksionis melihat bahwasannya seksualitas merupakan hal yang tidak statis dan bukan merupakan gejala universal, dapat dikontestasikan serta dipengaruhi oleh proses sosial budaya. 

 Tentang Homoseksualitas           

Homoseksual atau homofilia dapat difenisikan sebagai gejala dan prilaku yang ditandai oleh ketertarikan secara emosi dan seks, pada sesorang terhadap orang lain yang sama jenis kelaminnya (Dede Oetomo, 2001: 93). Homofilia atau homoseksualitas terdapat dimana saja dalam kehidupan manusia karena secara biologis-psikologis manusia dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan tindakan seks yang jauh lebih banyak macamnya daripada hanya senggama penis dengan vagina (Dede Oetomo, 2001: 96).

Secara teoritis, homoseksualitas dapat diartikan sebagai rasa tertarik secara perasaan baik itu kasih sayang atau hubungan emosional dan secara erotik, baik secara predominan mauapun ekslusif terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik. Homo seksual lebih tepatnya mengacu pada orang, baik laki-laki ataupun perempuan yang memakai orientasi homoseksualnya sebagai kriteria pokok dalam mendefinisikan identitasnya atau lebih dikenal dengan istilah Gay untuk pria dan Lesbi untuk wanita. Adapun dorongan untuk mencintai sesama jenis ini ada secara alami dan terdapat di dalam kebudayaan di seluruh dunia.           

Jika kita coba membaca tulisan-tulisan dari Dede Oetomo, maka kita akan menjumpai pemikiran-pemikiran yang pro dan terkesan ingin melegalkan dan mencari pembenaran akan prilaku kaum homoseksual, seperti yang tertulis di atas. Setidaknya itu yang ada dalam benak saya ketika saya membaca artikel-artikel yang ditulis olehnya.

Namun jika boleh jujur artikel-artikel yang ditulis oleh Dede Oetomo telah memberi saya ‘pencerahan’ akan homoseksualitas. Saya telah mendengar dan memahami konsep homoseksual (dalam ‘kacamata’ saya ketika itu) ketika saya duduk di bangku SMP dan  sering kali menggunakan kata “homo lu!” ketika saya melihat dua orang teman laki-laki saya saling bercanda sambil berpeluk-pelukan, namun wacana pengetahuan saya akan homoseksualitas hanya terbatas pada tahap ini saja dimana saya menganggap bahwa homo sama dengan dua pria yang saling menyukai. Titik. Cuma sampai disini pengetahuan saya, tidak lebih. Dan sama seperti orang kebanyakan, saya menganggap prilaku homosekual sebagai prilaku yang abnormal dan merasa ‘geli’ tiap kali saya mendengar ada orang yang berhubungan dengan sesama jenisnya karena saya selalu berpikir “Bukankah Tuhan menciptakan sesama manusia berpasangan ? Adam bertemu dengan Hawa, laki-laki berpasangan dengan perempuan. Itu baru benar, kenapa sih mereka ngga’ mau lebih bersabar?”

Jika  saya pikirkan kembali nampaknya pemikiran saya ini Essensialis sekali, terlalu straight. Namun pemikiran seperti itu kini perlahan mulai terkikis seiring dengan masuknya pengetahuan baru akan homoseksualitas. 

Homoseksual: Pro dan Kontra Dalam Kertas           

Homoseksualitas jika ditinjau dari perspektif psikologis merupakan orientasi seksual yang dikembangkan seseorang dan merupakan interaksi kompleks dari aspek biologis atau anatomis dengan nilai budaya dan agama yang berlaku dan dianut oleh seseorang. Seperti yang telah kita ketahui bahwa homoseksualitas merupakan wacana yang mendapat perhatian khusus dikarenakan keberadaan homoseksualitas cenderung tidak diakui oleh masyarakat karena bertentangan dengan ajaran-ajaran agama (di Indonesia).

Praktek homoseksual sendiri ternyata bukan suatu fenomena moderen, tetapi sudah ada sejak dulu. Praktek homoseksual merupakan praktek yang universal. Lazim dilakukan orang, di seluruh dunia, di sepanjang masa. Oleh karena itu sebenarnya kita perlu terlalu terperanjat dan bereaksi berlebih-lebihan.  Praktek homoseksual bersifat ”universal”, bahkan di banyak tempat dianggap ”normal” misalnya, di antara 15 Kaisar Roma yang pertama, konon, 14 adalah homoseksual. Bahkan Foucault , Alexander The Great dan Leonardo Da Vinci pun Gay sementara untuk kaum lesbian, praktek homoseksual telah ada sejak zaman Yunani. Di seluruh dunia dan di sepanjang masa, homoseksualitas selalu menjadi masalah dan dipermasalakan. Menurut saya, homoseksualitas bukanlah persoalan ”hitam-putih” yang sederhana. Tidak boleh kita tanggapi secara naif dan simplistis  sekedar ya atau tidak, boleh atau tidak boleh.            

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa masalah homoseksualitas ini bukanlah merupakan masalah yang sederhana sebab pada satu pihak, bagi sebagian orang, praktik homoseksualitas tidak dianggap sekadar sebagai perbuatan zinah saja. Tapi lebih parah dan lebih bejat dari itu. Ia dianggap sebagai penyimpangan kodrat, melawan hukum alam dan menentang ketetapan Tuhan. Ungkapan semacam ini nampakanya cocok sekali dengan pola pikir kaum essensialis. Dan sejujurnya (sekarang ini) saya tidak setuju dengan pendapat semacam ini, pemikiran semacam ini hanya akan memperkeruh suasana karena jelas sekali jika kita mencoba untuk membahas masalah homoseksualitas ini ke permukaan dengan memakai konsep agama, maka hasil akhirnya sudah jelas dimata, yaitu penyangkalan dan penolakan akan adanya homoseksualitas dalam masyarakat.

Seharusnya masyarakat dapat lebih arif lagi dalam menyikapi masalah homoseksualitas dan bukannya menghakimi mereka sebagai para pesakitan (setidaknya itu yang say tangkap ketika saya membaca posting-posting tentang gay dan lesbi di internet). Bahkan tak jarang reaksi yang diberikan oleh masyarakat dirasa sangat berlebihan. Memang sih pada awalnya kita pasti akan bersikap seperti itu, namun jika kita telah mendapat pemahaman akan kehidupan homoseksual maka pemahaman itu sedikit demi sedikit mulai luntur sehingga kita akan lebih bijaksana lagi dalam memandang kaum homoseksual.

Berikut saya contohkan salah satu posting dari salah satu situs milik pemerintah yang mengetengahkan topik tentang “Pembatasan Ruang Gerak Gay dan Lesbi”:

Pak Gurbernur, mohon untuk segera dibuat Perda yang mengatur ruang gerak para gay/lesbian, karena sering kali kehadiran para gay/lesbian ditempat umum sangat merisaukan dan membuat tidak nyaman.
saya kira perbuatan yang mereka lakukan lebih merisaukan daripada isu tentang pencemaran asap rokok.
Misalnya kami sebagai karyawan kantor sering merasa tidak nyaman bila sedang buang air kecil/besar ditoilet kantor saat berbarengan dengan orang gay, mereka sering “menggangu” kami.
Memang sih “gangguan” mereka hanya masih sebatas “omongan yang tidak senonoh” dan “lirikan tajam” saja.
Tapi saya yakin ditempat lain yang lebih bersifat lebih umum (misal toilet umum non-kantor) para gay akan lebih vulgar mengganggu.
Bahkan di toilet kantorku pun, bila kita lengah sedikit atau menanggapi sapaannya, mungkin mereka akan tambah “nakal”.
pak mohon diperhatikan benar usulan ini, bila pemerintah tidak mengakui adanya gay/lesbian, maka sebaiknya mereka dilarang kencing di toilet umum.
tetapi bila pemerintah mengakui mereka, maka sebaiknya di setiap kantor / tempat umum harus menyediakan toliet khusus gay/lesbian, tidak boleh dicampur dengan toilet pria/wanita.
wekkk!! juhh…. amit-amit!!
jijik uih…..

            Berdasarkan posting tersebut kita dapat melihat bahwasannya masyarakat memang masih menganggap homoseksual sebagai ‘gangguan dalam sistem’. Ini tentunya sesuai dengan budaya yang ada dalam masyarakat kita, plus norma-norma yang mengikat dan mengatur masyarakat yang memang memandang sebelah mata keberadaan kaum homoseksual. Namun perlu untuk diingat bahwa suka tidak suka keberadaan mereka memang nyata dalam masyarakat kita. Saya sendiri memiliki pengalaman yang mungkin tidak akan pernah dapat saya lupakan seumur hidup ketika saya mengetahui sebuah fakta bahwa teman terbaik saya seorang gay.

Sebelum saya berjumpa dengan dia, saya termasuk dalam kaum yang memandang prilaku homoseksual sebagai satu hal yang MENYIMPANG dan TIDAK DIPERKENANKAN untuk terjadi karena PRIA dan WANITA ditakdirkan untuk bersama-sama dan saling melengkapi.

Pertama jumpa dengan teman saya memang tidak ada yang berbeda dengan pria lain hanya saja gaya bicaranya halus dan lembut dan gemar sekali memakai baju yang ‘rada ketat’ di badan. Dan dia sendiri tidak pernah berbicara bahkan menyinggung-nyinggung tentang kehidupannya.

Tahun kedua kuliah gayanya berpenampilan mulai makin modis dan ia pun mulai memanjangkan rambutnya, saat itu saya hanya merasa bahwa ia gemar tampil trendi sama seperti wanita umumnya.

Tahun ketiga ketika kebetulan kami mendapat kesempatan untuk melakukan penelitian di salah satu daerah, ia mulai menceritakan tentang keadaan di keluarganya dan mulai bercerita tentang dirinya sendiri tetapi ia belum mengakui dirinya gay.

Tahun keempat untuk pertama kalinya saya melihat dia memakai pelembab, alas bedak dan lip gloss ke kampus (saya bahkan pernah melihatnya memakai thong khusus pria yang nampak ketika ia akan duduk)!!! I was surprised and also speachless. Disini dia baru benar-benar terbuka dan menceritakan semuanya, dia mengatakan bahwa ia gay, ia sadar 100% bahwa ia adalah seorang pria namun keinginan untuk menjadi feminin begitu kuat dalam dirinya hingga sekarang ia mulai mengkonsumsi pil-pil hormon untuk mengikis hormon pria yang ada dalam dirinya. Ia juga bercerita tentang kekasihnya yang juga gay dan berada di Jerman.

Saat ia mulai menceritakan seluruh hidupnya dan berhenti untuk bertanya kepada saya apakan saya merasa malu dan terganggu mempunyai teman seperti dia, di situ saya menjawab pertanyaannya bahwa saya tidak merasa malu dan terganggu mempunyai teman seperti dia, saya mengatakan apa pun yang akan dia lakukan, lakukan saja karena itu merupakan haknya dan bahwasannya saya akan selalu ada dan mendukung dia. Hingga kini orang tuanya masih belum menyadari bahwa anaknya gay.

Berdasarkan pengalaman saya tersebut dan melalui beberapa bacaan yang saya baca untuk lebih memahami keadaan kaum gay, saya menyadari bahwa kita sebagai manusia tidak boleh menghakimi orang lain yang berbeda dengan kita.

Maksud saya, kita semua sama hanya orientasi seks yang berbeda saja yang memberi batasan antara mana yang norma dan mana yang tidak normal. Namun bagi saya, Gay/Lesbi/Waria apa pun itu, itu normal.

Ini bukan berarti saya menentang  dan menyalahi hukum Tuhan. Akan tetapi bagi saya dalam lingkungan sosial, saya menerima keberadaan mereka dan mengakui bahwa mereka memang eksis dan butuh untuk diperlakukan lebih baik lagi dan hubungan mereka dengan Tuhan biarlah itu menjadi urusan mereka sendiri, mungkin pemikiran saya ini lebih cenderung mengikuti pola pikir kaum konstruksionis.

Bukankah dalam ilmu antropologi ada suatu pendekatan yang dikenal dengan etik dan emik view yang mengajarkan bahwa kita tidak boleh melihat dan menyikapi suatu permasalahan melalui kacamata dan pemiliran kita sebagai seorang peneliti melainkan harus dapat melihat dan memahaminya melalui kacamata dan pemikiran orang atau masyarakat yang kita teliti. Jika kita mencoba untuk menerapkan pemikiran semacam ini dalam kehidupan kita, maka dengan demikian kita dapat memandang kaum homoseksual ini sejajar dengan kita  bukannya timpang sebelah.

 Lagipula homoseksualitas khususnya gay telah ada dan melekat dalam budaya Indonesia sejak dulu bahkan dapat dikatakan homoseksualitas di Indonesia merupakan pranata tradisional yang khususnya masaih dapat terlihat jelas di wilayah pedesaan, misalnya saja di Ponorogo yang terkenal dengan Warok dan Gemblakan, lalu di suku Dayak Ngaju dimana tetua yang dipih harus sesorang yang hanya berhubungan jenis dengan sesama jenis kelamin. Melihat fakta dan kenyataan yang ada, kenapa kita masih merasa risih dengan keberadaan kaum homoseksual?

Sekali lagi saya rasa masalah tentang homoseksual ini tak kan beranjak jauh dari teori nature vs nurture, dimana masyarakat masih saja memandang kaum homoseksual ini meyalahi kodrat alami manusia dengan berhubungan sesama jenis, namun di sisi lain secara sosial dan budaya keberadaan mereka memang diakui sebagai ‘hasil’ dari adanya perubahan sosial dan budaya.  Selain itu saya juga sangat terkesan dengan kehidupan kaum Gay dimana mereka nampaknya begitu bertemu dengan pasangannya akan bersikap sangat setia dan melindungi, ini membuat saya sebagai seorang wanita yang heteroseks merasa ‘kecil’ dibandingkan mereka yang begitu tulus dan sungguh-sungguh dalam mencintai pasangan mereka. Contoh lain yang menarik adalah ketika saya browsing ke web site-web site milik kaum Gay saya menemukan bahwa mereka sangat aktif dan produktif dalam mengkampanyekan seks aman guna mencegah HIV/AIDS melebihi kaum heteroseks, mereka selalu mencantumkan informasi tentang penyakit-penyakit kelamin dan HIV/AIDS pada halaman depan web mereka.

Nampaknya mereka sadar betul akan pentingnya seks bebas, dari sini saja kita dapat memperoleh pelajaran dari mereka bahwa sebagai orang yang dianggap paling rentan tertular HIV/AIDS mereka justru paling giat mengkampanyekan seks aman, berbeda sekali dengan kita yang begitu mengagungkan ke’heteroseks’an kita namun minim pengetahuan dan minim kampanye tentang seks aman. sehingga tidak heran jika jumlah terbesar penderita HIV/AIDS pada akhirnya justru berasal dari kaum heteroseksual.

Selain itu ada hal lain yang juga membuat saya miris terhadap nasib para homoseksual di Indoensia adalah adanya sikap merendahkan yang ada dalam masyarakat, hal ini juga didukung oleh pemerintah yang tidak melegalkan ‘homoseks’ dengan dalih tidak sesuai dengan ketentuan agama dan norma-norma yang ada dalam masyarakat (melalui artikel yang saya baca, ketika masa kampanye pemilihan presiden pasangan SBY dan JK mengatakan menentang dan tidak melegalkan keberadaan kaum homoseksual, dan sekarang pasangan tersebut telah menjadi RI.1 dan RI.2). Hal ini terkadang membuat saya sedih membayangkan bagaimana selama ini para aktifis Gay telah berjuang meminta hak mereka namun pemerintah tidak mendukung sama sekali.

Bukankan Indonesia ini negara yang menganut prinsip Bhinneka Tunggal Ika dan mempunyai dasar negara berlandaskan Pancasila mulai dari pasal 1 sampai pasal 5? Lalu mengapa semua-semua didasarkan pada agama? Memang benar mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim namun dasar negara kita bukan dasar hukum Islam khan?  Seharusnya agama dan norma hanya menjadi ‘pengatur’ bukan ‘pembatas’.  

Apapun itu keputusan seorang individu kita seharusnya tetap menghargainya. Atau jika ingin membuat suatu larangan buatlah keputusan yang mementingkan semua pihak secara adil bukannnya timpang sebelah. Mereka homoseksual, mereka berbeda, namun mereka berharga karena mereka juga mahluk sosial yang butuh orang lain untuk meyokong keberadaan mereka tanpa menghakimi dan bermain menjadi hakim atas hidup mereka.

They Are What They Are…. 

Referensi:

Dede Oetomo: “Homoseksualitas di Indonesia” dalam diktat SSG 2005/2006

http://www.jakarta.go.id/v21/forum/display_topic_threads.asp?ForumID=4&TopicID=1026&PagePosition=1

Dede Otetomo: “Memberi Suara Pada Yang Bisu”, Yogyakarta: Galang Press, 2001 Hal 83. Dalam diktat kuliah Seks Seksualitas dan Gender 2005/2006.

               

 

6 Responses to “Menyikapi Masalah Homoseksualitas”

  1. andy Says:

    Setelah membaca artikel di atas, saya sangat setuju dan terharu. Andai kata semua orang memiliki persamaan persepsi seperti penulis di atas.

    Dan saya setuju bahwa negara Indonesia adalah berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika dan Bukan berlandaskan Agama dan norma yang membatasi setiap aspek kehidupan sosial seseorang walapun orang itu gay,lesbian ataupun waria.

    Saya melihat bahwa orang gay banyak memiliki kelebihan misalnya banyak diantara mereka adalah seorang businessman, art, musisian dan bahkan milyoner. melihat dari kesuksesan mereka bahwa mereka adalah manusia normal, sopan, pantai,kreatif dan sangat peduli terhadap orang lain.

    Dan satu hal yang perlu saya katakan, orang gay tidak hanya selalu berpenampilan feminim layaknya seorang wanita. Begitu banyak kaum Gay yang berpenampilan layak nya orang normal atau ”STRAIGHT”.

    Yang membedakan orang Gay atau tidaknya adalah perilaku seksualnya saja. Bahkan saya punya banyak teman dan kebanyakan dari mereka sudah menikah bahkan punya anak, tetapi mereka suka bermain seks dengan orang Gay.

    Saya engatakan bahwa orang tersebut adalah BISEKSUAL. Hal tersebut tidak terjadi pada kaum Pria saja tetapi juga terjadi pada kaum Wanita, artinya wanita tersebut ada 2 ketertarikan, sama perempuan dan sama laki-laki.

    Seperti program di MTV- di Amerika serikat,mereka membuat program khusus orang Straight, Lesbian, Gay dan Biseksual untuk menentukan pilihan mereka. dan Jangan Lupabesar bahwa sebagian masyarakat Amerika adalah kaum KONSERVATIVE dimana mereka sangat ANTI GAY.

    Nah disini bisa disimpulkan bahwa dinegara seperti Amerika masih ada yang bisa menghargai kaum gay. kenapa tidak di INDONESIA?

  2. itha Says:

    Wow… ga nyangka akhirnya ada yang memberi tanggapan panjang dan mengulas untuk artikel ini. senangnya… aq setuju ma pendapat rekan andy. never judge the book by its cover. kalo berbicara berdasarkan hukum agama, saya pikir tidak ada satu agama pun yang membenarkan hubungan dengan sesama jenis… tapi siapa kita untuk menghakimi? to me guy or lesbian they all same just a human try to fiand a real love with a different orientation of sex. I’m not try to legallized it. I”m just accept them as what ther are… there’s no balck and white in love… 🙂

  3. Dika Says:

    alhamdulilah, akhirnya ada juga orang yang mampu memberikan pemikiran yang bijak tentang masalah ini!!.
    Memang, kebanyakan masyarakat memandang bahwa kaum gay ataupun lesbian hanya sebagai sampah saja!!!, namun kenyataannya tidaklah begitu, kita bisa banyak belajar dari mereka bagaimana menata kehidupan yang baik dan benar, karena tidak sedikit dari mereka justru menjadi orang sukses dan berhasil!!, urusan prilaku seksual, ya urusan dia sendiri kan, bahkan kitapun yang normal kayaknya gak mau donk saling ikut campur tentang urusan seks!!, bener gak???, kata orang tua tuh urusan seks itu, urusan di atas kasur!!,ndak boleh di omongin ma orang lain!!, leureus henteu??? sanes kitu juragan?? yu ah wassalam……..

  4. sofian Says:

    suatu saat
    jika diparlemen kita nanti ada dan banyak orang-orang yang gay atau lesbian, maka saya yakin gay dan lesbi akan bernasib baik secara hukum

    saya setuju dengan apresiasi perubahan paradigma dalam menyikapi gay dan lesbi. gay bukan hanya laki-laki yang feminis tetapi juga laki-laki yg manly yang tidak suka akan feministis dan hanya menyukai maskulinis. sehingga mencari pasangan yang manly. manly versus manly. begitu juga yang lesbi. perempuan yang feminis dan menyukai feministis dan mencari pasangan yang feminis juga.
    tidak semua gay atau lesbi merasa terperangkap dalam raga yang keliru seperti laki-laki yg keperempuan-perempuanan (waria, banci) atau perempuan yang kelaki-lakian (tomboy). tetapi justru hubungan yang manly vs manly atau girly vs girly lah yang benar-benar menyenangkan bagi mereka. dan mereka ada.
    trm ksh

  5. tutur Says:

    aq stuju bgt ma isi artikel tsb coz di dunia ini banyak sekali kehidupan yang muncul jadi kita sesama manusia harus saling menghargai…slam knal buat smuanya

  6. M Iqbal Says:

    Saya seorang gay namun saya tidak bangga menjadi gay, saya kenal betul dengan komunitas nya Bapak dede yang saya hormati, tetapi saya kecewa berat dengan organisasi tersebut karena dengan jelas dan kasat mata, saya melihat sendiri hal-hal yang membuat saya sebagai gay malah tidak bisa menjadikan saya bangga dan menghargai diri saya sendiri. Terutama dengan sangat mudahnya mereka mengeneralisir bahwa semua orang gay pasti akan mencari temen hanya untuk urusan seks semata, termasuk cara-cvara mereka (termasuk orang-2 di organisasi itu sendiri), yang dengan vulgar nya mengajak kencan, padahal yang saya butuhkan adalah kebersamaan dan pengertian akan ke gay an saya yang jauh dari keluarga dan teman/kerabat, saya hanya membutuhkan itu, tetapi yang saya alami malah kebalikannya, saya sangat merasa tidak nyaman, terlebih lagi mereka gemar sekali bergosip dan menyimpulkan sebuah keadaan tanpa dilandasi bukti konkrit. Kekecewaan ini makin bertambah tatkala saya di gosipkan tanpa ampun mengidap aids hanya karena teman dekat saya meninggal dengan sebab yang lain
    sehingga saya sempat dikucilkan oleh beberapa teman
    saya tak habis pikir, orang-orang gay yang terbilang sudah dewasa (berumur), tetapi masih doyan bergosip dan percaya begitu saja tanpa menelaah permasalahan yang sebenarnya


Leave a comment